Joeragan artikel

Di Persimpangan

Titik Jeha

“Dik, sini sebentar!” teriak Mbak Dewi dari ruang tamu. Cepat-cepat aku keluar kamar. Aku kira apa, ternyata mau dikenalkan dengan beberapa temannya.

“Wi, beneran ini adik Kamu? Kok beda, ya, lebih cantik. Bagaimana kalau buat aku aja?” canda cowok tengil yang bernama Revan, menggoda.

Semua tertawa menanggapi candaan Revan, kecuali Mbak Dewi. Mukanya memerah, nyengir. Sepertinya dia kurang suka.

“Kamu ini, Van. Lihat tuh, adikku jadi malu, kan. Udah, ah. Mau minum apa, nih?” tukas Mbak Dewi menawarkan minum, mengalihkan pembicaraan. 

“Aku minum adik Kamu aja, Wi. Enggak usah bikin lagi, ya, Dik,” goda cowok itu bandel. Mbak Dewi melempar Revan dengan bantal kursi yang ada di sebelahnya.

“Buatkan kopi aja, Dik. Tolong, ya! Enggak usah didengar omongan mereka,” pinta mbak Dewi sambil memberi isyarat agar aku segera berlalu dari hadapannya.

Aku cepat-cepat ke dapur menyiapkan minuman dan segera menyajikan ke ruang tamu. Ocehan teman-teman Mbak Dewi tidak aku pedulikan lagi.

“Eit, mau ke mana? Ikut ngobrol aja di sini!” seru teman-teman Mbak Dewi kompak, ketika aku akan kabur dari ruangan itu. Revan malah menarik tanganku hingga jatuh menimpanya. Untung tidak jatuh ke lantai. Aku segera bangun dan berlari masuk ke kamar. Rasa malu menjalar sampai ke kepala.

Sejak malam itu, hari-hari Mbak Dewi selalu diwarnai cerita tentang Revan dan aku menjadi pendengar setianya.

***

Sore itu ketika sedang menikmati jus stroberi dan banana split di Kantin Lezaat, seorang cowok tiba-tiba datang mengejutkanku. Dia langsung duduk di sebelahku tanpa permisi dan bersikap seperti teman akrab. Risih rasanya. Aku segera bergeser tempat duduk agak menjauh.

“Kenapa, Dik Tika.? Enggak mau duduk sama aku, ya,” sapa cowok itu pelan hampir tak terdengar. Aku segera menoleh ke arahnya. Revan? 

“Mas Revan? Lagi apa? Sama siapa?” tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa kaget. Sudah lama tidak bertemu dengannya.

“Sendiri saja, Dik. Aku sengaja mau ketemu kamu,” jawab Revan membuatku melongo tak percaya.

“Bercanda ya, Mas,” selorohku sambil tertawa kecil.

“Aku enggak bercanda, Dik,” kata Revan dengan nada serius. Di wajahnya tidak ada kesan bercanda sedikitpun. Jantungku tiba-tiba berdegub tak karuan, memandang Revan dengan penuh tanda tanya.

“Oke, aku jelaskan. Sebenarnya, aku menyukai Dik Tika sejak pertama ketemu. Sudah lama aku ingin mengatakannya, tapi kesempatan itu seolah tidak ada. Kakakmu selalu saja mengacaukan rencana. Ada saja ulahnya, acara inilah, itulah. Aku bingung bagaimana cara menyampaikan hal ini. Sementara kakakmu telah mengklaim bahwa aku adalah pacarnya, padahal bukan. Aku dan Dewi sebatas teman. Dia memang pernah mengutarakan perasaannya, tapi aku tidak bisa menerima. Kukatakan bahwa aku mencintai Dik Tika.”

Lidahku kelu oleh pengakuan Revan, tidak tahu harus mengatakan apa.

“Maafkan aku. Aku enggak bisa lagi menahan rasa ini dan terus berpura-pura. Aku butuh jawabanmu, meskipun tidak sekarang.”

Aku hanya bisa diam memandangnya, bingung.

***

Seminggu telah berlalu. Aku dan Revan jadi sering bertemu. Bukan karena sengaja janjian, tapi Revan yang selalu mengikuti setiap gerak-gerikku. Selalu saja ada seribu satu alasan untuk bisa bertemu, di mana pun, kapan pun. Tapi tidak di rumah.

Sementara itu, Mbak Dewi  sekarang menjadi suka marah dan uring-uringan yang tidak jelas. Apalagi setelah memergoki aku dan Revan berduaan di Taman Kota dua hari lalu. Perangai Mbak Dewi berubah. Dia tidak seceria kemarin dan sering terlihat murung.

Hubunganku dengannya menjadi renggang. Tidak ada lagi tegur sapa dan canda. Bahkan untuk sekadar menatap mukaku saja sepertinya alergi. Tentu saja hal ini membuat tidak enak hati dan sedih. Apalagi kalau ayah ibu sampai tahu.

Malam ini aku sengaja mengundang Revan ke rumah. Rencanaku untuk membuat surprise pada Mbak Dewi. Aku telah mengatur sedemikian rupa agar mereka bisa bersama lagi, bersenda gurau seperti sedia kala. Sayangnya Mbak Dewi pergi sejak sore tadi hingga hampir jam sebelas malam belum juga pulang. Aku sudah mencoba menghubunginya berulangkali, tetapi tidak ada titik terang. Khawatir terlalu larut malam, akhirnya aku beranikan diri untuk bicara pada Revan.

“Mas, maaf. Aku tidak bisa menerima cinta Mas Revan. Ini jawabanku. Aku tidak sanggup melukai hati Mbak Dewi, apa pun alasannya. Selain keluarga Mbak Dewi, aku tidak punya siapa-siapa. Merekalah keluargaku yang telah merawat sejak kecil dengan kasih sayang yang tulus, walaupun aku hanya anak angkat. Aku banyak berhutang budi kepada mereka. Kebahagiaan Mbak Dewi adalah kebahagiaanku. Jadi, maaf, semoga Mas Revan bisa mengerti.”

Aku tak berani menatap wajah Revan. Kubiarkan tangannya merengkuhku dalam pelukan, meredam rasa nyeri di hati yang terdalam.

Bandung, 06 Januari 2019

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami