Joeragan artikel

D I L E M A

Titik Jeha

Minah menyeka peluh yang mulai menetes. Senyum kecil yang manis tersungging di sudut bibir. Kelegaan terpancar dari sorot matanya yang berbinar. 

Beberapa pekerjaan rumah sudah terselesaikan. Dia sudah memasak, menyiapkan makan, dan mencuci perkakas yang kotor. Tak lupa bersih-bersih rumah, mencuci baju, menyetrika, serta menatanya.

Pekerjaan yang menantinya adalah intruksi Amir, suaminya. Ibarat peluru yang ditembakkan dari senapan, Minah harus siap siaga melayani Amir hingga menjelang tidur malam.

Minah sadar, rutinitas harian itu tidak bisa dia tinggalkan, kecuali ditunda sementara. Itu pun dengan konsekuensi pekerjaan menjadi menumpuk bahkan lebih banyak.

“Minah, tolong pijiti aku. Badanku pegal-pegal, nih. Capek sekali hari ini,” kata Amir ketika mereka selesai makan malam.

“Iya, Bang. Tapi, aku salat Isya’ dulu. Tunggu saja di kamar, nanti aku ke sana,” jawab Minah sembari membereskan meja makan.

Setelah wudu, perempuan itu menuju ruang kecil di pojok depan menggelar sajadah lalu salat. Dalam sujud dia menangis, mengadukan segala keresahan yang sering mengganggu.

Amir, laki-laki yang menikahinya sepuluh tahun lalu itu, telah berubah. Dia sekarang tidak peduli dengan pekerjaan rumah tangga dan tidak mau tahu keadaan Minah. Lelaki itu menjadi egois, kasar, dan sering menyalahkan.

Minah hanya mampu terguguk dalam kepasrahan. Dia tidak berani membantah atau pun protes kepada suaminya. Jika dia melakukan maka kemarahan yang akan diterima. Perempuan itu memilih diam karena menyelamatkan dari cerca dan makian Amir yang menyakitkan.

“Minah! Cepat!” teriak Amir dari kamar tidur.

Minah segera menyusut air mata dengan mukena dan terburu-buru menghampiri Amir.  Dipijitnya lelaki itu hingga tertidur pulas.

***

Sore itu, Amir pulang kerja lebih cepat. Binar gembira terpancar dari wajahnya. Minah, menyambut keheranan.

“Minah, Sayang. Kenapa melihat Abang begitu? Sambut Abang dengan senyuman, dong!” kata Amir seraya memeluk Minah hangat.

“Tumben Abang datang langsung memeluk Minah. Biasanya enggak begini,” ucap Minah ragu, meskipun hati diliputi rasa senang atas perubahan suaminya.

“Kenapa? Kamu tidak suka? Abang kan rindu sama Minah. Enggak boleh ya? Apakah Minah enggak kangen sama Abang?” tanya Amir menatap Minah dengan mesra.

“Boleh dong, Bang. Minah juga kangen sama Abang,” jawab Minah manja.

Api kerinduan yang terpendam di dasar sukma, memercik membakar dendam asmaranya.

Perempuan itu terbuai di atas awan. Hatinya berbunga-bunga. Begitu lama dirinya tenggelam dalam dahaga. Ia bahkan lupa kapan Amir melakukannya.

Minah melewatkan malam ini dengan indah berpagut kamasutra.

***

“Minah, Sayang. Hari ini Abang tugas ke luar kota, sekitar seminggu. Kamu baik-baik di rumah, ya!” kata Amir sebelum berangkat kerja.

“Seminggu, Bang? Tumben lama. Ke mana sih,  Bang?” tanya Minah ingin tahu. Bertahun-tahun kerja, belum pernah Amir pergi selama itu.

“Ke Surabaya, Sayang. Doakan Abang, ya,” pinta Amir sambil mencium kening Minah.

Minah mengangguk tersenyum. Diciumnya tangan Amir sebelum pergi.

“Iya, Bang. Minah doakan. Hati-hati, ya!”

***

Pagi itu Minah pergi ke pasar diantar Ahmad, adiknya, untuk berbelanja kebutuhan dapur yang mulai habis.

Saat keluar dari kios beras, dia melihat sosok laki-laki yang mirip Amir sedang berdiri di samping becak menggandeng seorang perempuan muda. Merasa penasaran, Minah mengajak Ahmad untuk menguntit. Perempuan itu sangat yakin laki-laki yang dilihat tadi adalah suaminya. 

Laki-laki dan perempuan muda itu kemudian naik becak entah mau ke mana. Minah dan Ahmad mengikuti mereka dari kejauhan.

Hati Minah berkecamuk tak karuan. Dadanya bergemuruh, gelisah. Pikirannya kalut. Dia bingung harus melakukan apa dan bagaimana. Di hatinya bergejolak tanda tanya.

Apakah lelaki itu benar, Bang Amir? Jika iya, siapa perempuan muda itu? Apakah selingkuhannya? Atau siapa? Sedang apa mereka? batin Minah gulana.

Tiba-tiba becak itu berhenti di depan sebuah hotel melati. Mereka turun lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Minah ternganga, dia masih tidak percaya dengan penglihatannya. Darahnya memuncak. Api cemburu membakar di dada.

Sepuluh menit kemudian, Ahmad datang bersama polisi yang langsung menggerebek tempat itu. Minah tersenyum melihat Amir dan perempuannya dibawa mobil razia.

Bandung, 20 Januari 2019

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami