“Res, jaga adikmu! Papa mau mengantarkan Tante Rita ke salon dulu. Tunggu sampai pulang, ya” teriak Papa dari kamar utama kepada Resita yang sedang asyik membaca buku di ruang baca. Suara Papa yang keras bergema di seluruh ruangan.
Resita tidak menjawab dan memilih pura-pura tidak memdengar teriakan Papa. Ia meneruskan pekerjaannya membaca buku dan tidak beranjak dari tempat duduknya.
Gadis kelas sepuluh itu sudah hafal betul dengan prosedural instruksi di rumahnya. Batinnya menggerutu tak karuan. Kenapa mesti Papa yang bicara? Apakah Tante Rita tidak punya mulut? Mengapa selalu menggunakan Papa sebagai penyambung lidah? Atau barangkali sedang sariawan? Ah, dasar monster!
‘Lagi pula, kenapa Fita enggak dibawa saja? Toh, Papa bisa menemani Tante Rita sambil mengasuhnya ‘kan? Kenapa harus aku? Bagaimana kalau Fita menangis mau bersama mamanya?’ batin Resita menggemuruh.
“Res, tolong Tante Rita, ya, Sayang. Jaga Fita dulu. Sekarang lagi bermain tuh di depan TV. Temani dan asuh, ya. Nanti kalau dia rewel, panggil aja Mak Nur. Oke? Papa berangkat, ya.” Papa mendadak sudah berdiri di ambang pintu ruang baca. Bahasa tubuhnya menyuruh Resita segera bergegas meninggalkan ruang itu untuk mengasuh Fita.
Resita hanya memandangi Papa dari ujung rambut hingga kaki. Ia tak ingin bersuara sepatah pun. Apalagi jika melihat gelagat Papa yang tampak terburu-buru, pastilah ia tidak mau mendengar suara apa pun dari Resita.
Ditutupnya buku yang sedang dibaca dan disimpannya kembali ke rak setelah memberi tanda pembatas. Dengan berat hati, dilangkahkannya kaki menuju ruang TV tempat Fita bermain.
Bagaimanapun, Resita tetap sayang kepada Papa dan keluarga besarnya. Apalagi adik kecil bernama Fita yang baru berusia delapan bulan itu, meskipun ia tidak suka pada mamanya, istri baru Papa yang dipanggilnya Tante Rita.
Sejak menikah dengan wanita itu, Papa banyak berubah yang membuat dunia Resita tampak kelabu. Kesukaan Papa yang baru adalah berteriak melantangkan perintah demi perintah kepada Resita. Papa kini tak lebih seperti orang asing yang tidak dikenalnya.
Resita tak habis pikir, apa yang membuat Papa jatuh cinta pada wanita monster semacam Tante Rita dan membuang Mama? Perempuan itu ibarat mesin pencetak instruksi yang canggih. Tante Ritalah yang bertanggung jawab atas semuanya.
Sekarang, kekuatan Tante Rita telah bertambah lagi satu. Ada monster kecil yang harus Resita panggil adik. Monster kecil itu telah menyempurnakan episode perebutan cinta Papa dan mengubah Papa menjadi serupa robot yang bisa dikendalikan dengan remote control.
Ya. Papa sudah menjadi antek monster itu. Tak ada lagi Papa yang dengan kasih sayangnya bercengkerama seperti dulu, yang membelanya dengan sepenuh cinta, yang dengan kelembutannya menemani Resita belajar. Tante Rita dan Fita telah membutakan hati Papa.
Resita dan adiknya, Hamzah, harus mengalah kepada mereka, apa pun itu. Termasuk juga untuk jatah makan dan kebutuhan lainnya. Karena kebutuhan Tante Rita dan Fitalah yang harus menjadi nomor satu, sementara kebutuhan Resita dan Hamzah nomer sekian dan entah kapan tercukupi.
“Kalian yang sabar, ya. Uang Papa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Tante Rita dan Fita dulu. Nanti kalau Papa dapat rezeki lagi, itu untuk kalian. Ini juga belum kebutuhan Papa, lo. Jadi, kalian tidak boleh cemburu, ya, Sayang. Doakan Papa selalu, ya, semoga segera mendapat rezeki yang banyak,” ucap Papa saat Resita dan Hamzah menagih uang sekolah. Ironisnya, Papa tidak memberikan uang satu rupiah pun kepada mereka berdua.
Uang saku ke sekolah pun dikurangi, bukannya bertambah. Semua harus nurut kepada instruksi Tante Rita. Resita hanya diberi tujuh ribu, sedangkan Hamzah lima ribu. Tidak ada jatah uang transport karena sekarang Papa yang mengantar jemput ke sekolah. Kalau Papa dan Tante Rita bangun kesiangan otomatis Resita dan Hamzah juga kesiangan. Jika Papa tidak bisa mengantarkan sekolah, mereka terpaksa tidak masuk sekolah. Begitu juga jika tidak bisa menjemput, mereka harus merelakan uang sakunya untuk naik angkot.
Buat makan? Tante Rita adalah perempuan modern yang hobi menyelesaikan sesuatu dengan uang. Ia tidak biasa menyiapkan makanan untuk keluarga. Namun, Tante Rita lebih sering membeli makanan untuk dia, anaknya, dan Papa. Resita dan Hamzah hanya mendapat makanan sisa. Tragis ‘kan? Resita dan Hamzah tidak boleh menikmati secara cuma-cuma apa yang Tante Rita beli, tetapi sebaliknya perempuan monster itu boleh memakan apa saja yang Resita dan Hamzah miliki, bahkan tanpa harus permisi.
“Dek Haz, ya, yang makan semua kue martabak di kulkas?” tanya Resita pada Hamzah sepulang sekolah. Dahi Hamzah seketika mengernyit dengan tatapan keheranan.
“Martabak yang mana, Kak? Lihat wujudnya juga enggak. Hantu kali,” jawabnya nyengir menggoda Resita.
“Yakult?” tanya Resita lagi penasaran.
“Yaelaaah, Kakak ini. Tadi martabak sekarang yakult. Mana aku tahu, Kakak Cantik. Coba tanya sama hantu sebelah. Kali aja dia tahu,” jawab Hamzah bercanda, meskipun agak kesal. Mungkinkah Papa? Sepertinya tidak mungkin karena Papa pasti akan bilang dulu pada Resita. Papa yang mendidiknya untuk selalu minta izin dan permisi.
Selidik punya selidik ternyata yang menghabiskan kue martabak dan yakult milik Resita yang disimpan di kulkas adalah Tante Rita. Mak Nur, tetanggaku, yang suka membantu beres-beres di rumah menceritakan kronologisnya. Padahal, kalau Tante Rita membeli kue atau makanan biasanya disembunyikan di kamarnya dan jarang berbagi. Kalau toh Resita dan Hamzah dibagi pasti itu makanan sisa yang hampir basi.
Ya, Tuhan. Betapa seenaknya perempuan itu tanpa bertanya, apalagi permisi terlebih dahulu kepada Resita. Sementara Resita harus terlebih dulu minta izin bila meminta sesuatu. Jika tidak, maka Resita akan menjadi sasaran kemarahan Papa dan dicap sebagai anak yang tidak punya etika.
Resita masih ingat betul, saat awal Tante Rita belum menikah dengan Papa. Dia sangat baik dan tampak menyayanginya. Hampir setiap hari dia mengajak jalan-jalan dan makan bersama. Waktu itu Tante Rita begitu dermawan dan penyayang. Resita dan Hamzah selalu diberinya uang saku dan dibelikan barang-barang yang dibutuhkan tanpa diminta.
Itu cerita dulu. Sekarang semuanya telah berubah dan berbalik seratus delapan puluh derajat. Tante Rita hanya menyayangi Papa dan bukan Resita maupun Hamzah, apalagi setelah kelahiran anaknya, Fita, sepertinya nama Resita dan Hamzah sudah terhapus dari daftar hatinya. Entahlah.
Resita sebenarnya sangat berharap Papa akan membelanya. Namun sayang, Papa lebih memihak Tante Rita dan Fita. Resita dan Hamzah ibarat benalu yang semestinya dibuang jauh.
“Kalian itu harusnya minta uang dan keperluan ke Mamamu. Jangan ke Papa atau Tante Rita. Papa ‘kan sekarang punya anak dari Tante Rita, jadi, ya biarkan Papa mengurus mereka. Kalian ‘kan sudah Papa urus dulu waktu kecil sampai sekarang. Gantian, dong, Mama kamu yang ngurus kalian.” Kata-kata Papa membuat hati Resita dan Hamzah kian merasa tersisih.
Ah, Papa! Kasihan dia. Ternyata kian hari makin kehilangan akalnya, sedangkan Resita dan Hamzah memutuskan untuk tinggal bersama mamanya.
Bandung, 16 Oktober 2019
***