“Mas Satria?“ tanya Lastri.
Dia tak percaya pada pandangannya. Satria datang menyampaikan bela sungkawa atas kepergian ayah Lastri. Mereka telah dua puluh tahun tidak bertemu, sejak Satria menceraikannya.
***
“Mas, kamu sudah makan?“ tanya Lastri pada Satria suaminya.
“Belum, kamu?“ tanya Satria.
Namun, dia berlalu tanpa menunggu Lastri menjawab pertanyaannya.
Sekembalinya ke ruang makan, dilihatnya makanan sudah tersedia di meja.
Lastri menunggunya selesai membersihkan diri untuk kemudian makan bersama. Mereka masih merasa canggung satu sama lain.
Lastri memang istri yang baik. Walau Satria belum bisa menerimanya sepenuh hati, dia selalu menyiapkan semua kebutuhan pria itu. Pria yang dijodohkan oleh orang tuanya hampir sebulan yang lalu.
Satria sendiri sebenarnya menyukai Lastri. Namun, dia tidak yakin Lastri menerima perjodohan ini karena juga menyukai dirinya.
“Sepertinya dia terpaksa menerimaku, Jo,“ ungkap Satria pada Bejo, sahabatnya.
“Kamu ini aneh, dari dulu mendambakan Lastri, sekarang sudah menikah, malah dijauhi.“ Pendapat Bejo ada benarnya. Semua ini karena dia khawatir Lastri tidak bahagia.
Sementara tanpa sepengentahuan Satria, Lastri pun memiliki perasaan yang sama.
“Aku khawatir, Jum,“ ucap Lastri pada sahabatnya Juminten.
“Las, Satria itu bukan anak kecil. Kalau dia nggak suka sama kamu, pasti sudah menolak mentah-mentah lamaran orang tuamu.“ Juminten mencoba menenangkan sahabatnya, tapi ternyata tidak berhasil.
Lastri masih terlihat murung, senyum di wajahnya sesekali hadir saat dia mengingat Satria dan kecanggungannya saat melihat Lastri.
Itulah Satria yang disukai Lastri, bukan Satria yang sekarang.
Lastri tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, begitu pun dengan Satria. Hanya saja mereka masih memilih untuk tidur terpisah. Malam-malam mereka lalui dalam sepi. Hingga suatu malam, Satria mendengar Lastri menangis. Hatinya hancur, membayangkan Lastri tidak bahagia hidup dengannya, sebagai istrinya.
Walau dengan berat hati, Satria mengungkapkan keinginannya kepada sang mertua untuk menceraikan Lastri. Tentu saja mereka terkejut. Namun, tak ada yang bisa mereka lakukan selain menerima keputusan menantunya itu. Lastri sangat terpukul mendengar Satria ingin menceraikannya, tapi dia yakin Inilah yang terbaik bagi mereka berdua.
“Semoga kamu mendapatkan jodoh lain yang bisa membahagiakanmu, Mas,“ ucapnya lirih.
“Kamu juga, Dek,“ ucap Satria padanya, “Maaf kalau aku belum bisa membahagiakanmu.“
Lastri menatap kepergian Satria, pria pujaannya.
***
“Apa kamu tidak menikah lagi, Dek?“ tanya Satria. Pria itu melihat jari tangan Lastri tanpa cincin.
“Kamu sendiri, Mas?“ tanya Lastri sambil menutupi kecanggungannya.
“Cintaku hanya padamu, Dek,“ ucap Satria. Entah keberanian dari mana datangnya. Namun, setelah menduda selama dua puluh tahun rasanya tidak ada lagi yang perlu dirahasiakan.
Lastri terkejut dan matanya mulai basah, tak percaya pada pendengarannya.
“Kenapa kau menceraikanku, Mas?“ tanya di antara isak tangis.
Satria yang bingung, menceritakan apa yang selama ini mengganti pikirannya.
“Kita memang bodoh, Mas,“ ucap Lastri.
“Orang tuaku tak mungkin melamarmu kalau mereka tidak melihat ada cinta di antara kita.“ Satria menimpali.
“Cinta sejati, yang membutuhkan waktu dua puluh tahun untuk kita menyadarinya,“ lanjut Satria. Matanya menatap Lastri penuh cinta.
Tangannya meraih tangan Lastri dan menyematkan cincin di jarinya. Cincin yang selalu dibawanya, telah kembali ke pemilik hatinya.
***selesai***