Asmara mengisahkan kita
Mengingatkanku pada dirimu
Gelora mengingatkanku
Bahwa cintamu telah merasuk jantungku
Sejujurnya
Ku tak bisa
Hidup tanpa ada kamu aku gila
Seandainya
Kamu bisa
Mengulang kembali lagi cinta kita
Takkan kusia-siakan kamu lagi
***
Petikan gitar Parman seolah mengundang sang bayu untuk turut bersenandung. Burung-burung pun bergabung dan menari-nari di antara rimbunnya jagung. Kilauan mentari yang mulai terik tak membuat Parman kepanasan. Baginya lebih panas dan sakit, ketika Ipah tak lagi memberi kabar semenjak pertemuan terakhir mereka.
“Kang, nanti malam datang ke rumah, ya. Bantu nyiapi syukuran,” pinta Ipah kepada Parman di suatu siang.
Ipah ikut duduk di atas lincak lalu mengeluarkan mangkok dari pengait rantang, menyiapkan daun untuk makan, dan menuangkan kopi dari cerek blirik untuk tiga orang penggarap sawah.
“Oh, iya. Pasti bisa. Ada acara apa to?” tanya Parman balik.
“Ada kerabat jauh yang akan datang. Kebetulan kan lusa hari lahir Ipah. Syukuran ulang tahun, Kang,” jawab pujaan hatinya. Hati Parman berbunga-bunga ketika mata mereka beradu. Lesung pipitnya menambah wajah ayu itu makin mempesona.
“Pakdhe ora diundang to, Nduk?” Mbah Karto menyela pembicaraan.
Acara syukuran ulang tahun di desa menjadi hal istimewa. Namun, Ipah tidak mengharap hadiah apapun dari mereka yang hadir saat syukuran. Bagi Ipah, doa agar dia selalu sehat dan bisa membahagiakan orang tuanya menjadi hal utama.
Usai istirahat, Lik Wiji, Mbah Karto dan Parman kembali ke sawah. Parman mengurangi jagung muda agar tongkol yang disisakan berkembang sempurna. Lik Wiji ada di bagian kacang ijo, memetik sebagian daunnya dengan tujuan yang sama. Sementara, Mbah Karto memegang selang yang terhubung dengan pompa dan menyiram kacang tanah.
Daun-daun yang bergoyang menambah syahdu suasana hati Ipah. Sesekali matanya menatap Parman di balik rerimbunan jagung.
“Laut … laut ….” Suara Lik Wiji menghentikan aksi curi pandang Ipah dan Parman.
“Ayo, kuantar pulang,” ajak Parman yang bibirnya tak lepas dari senyuman. Ipah mengiyakan, dan segera menyusul Parman yang sedang menuntun sepeda onthelnya.
“Mbah Karto, Lik Wiji, kami duluan!” teriak Ipah ketika sudah nyaman duduk di jok belakang. Tangan kiri menenteng rantang, sedangkan tangan kanan memegang pinggang Parman.
“Ipah, kamu mau jadi istriku?” tanya Parman yang dibalas cubitan oleh Ipah.
“Ipah ini nunggu aja, kapan Kang Parman melamar,” sahutnya pelan, lalu menempelkan kepalanya di punggung Parman.
Siulan kebahagiaan meluncur begitu saja dari mulut Parman.
***
Dua minggu setelah pertemuan itu, Parman mengajak Mbah Karto dan Lik Wiji menyiapkan kolam lele di belakang rumahnya. Parman berhasil mendapatkan bantuan benih dari Dinas Perikanan di kecamatan.
“Pakdhe, mana Ipah? Dua minggu ini rantangnya aja yang datang,” tanya Parman ketika istirahat.
“Sing runtang runtung ki kowe, kok malah takon aku,” tukas Mbah Karto setelah menyeruput kopinya.
“Kemarin saya ambil pupuk, juga nggak ada di gudang,” keluh Parman kehilangan selera makan.
“Parman, digoleki Pak Hasan,” seru Lik Wiji yang datang bersama Kepala Dinas Perikanan kecamatan.
“Bagaimana perkembangan lelenya?” sapa Pak Hasan sambil jabat tangan.
“Alhamdulillah, bagus, Pak,” jawab Parman semangat.
“Iki, lho, calon bojone Ipah,” bisik Lik Wiji kemudian yang membuat wajah Parman memucat.
***
Editor: Fitri Junita
#Day7
#TemaGhosting