Matahari sudah pulang ke peraduan ketika aku menyelesaikan desain taman untuk sebuah butik, sekaligus studio pemotretan milik jebolan putri pariwisata di kotaku.
“Masih mau lembur?” sapa Bu Mirna, manajerku, sebelum keluar ruangan. “Aku duluan, ya. Ingat, jangan pulang terlalu malam.”
Sebungkus cemilan ditinggalkan Bu Mirna di atas mejaku. Setelah Bu Mirna berlalu aku kembali mengamati gambar di layar laptop.
Aku terkagum sendiri dengan karyaku kali ini. Jembatan kecil terbuat dari kayu ulin yang membelah kolam, mampu menopang dua orang yang berdiri di atasnya sambil menikmati teratai ungu yang mekar.
Ikan-ikan koi menari-nari di bawah air terjun mini, bercanda dengan kura-kura. Sebatang pohon Tabebuya yang berdiri tegak tepat di seberang jembatan, mampu mengayomi siapapun yang duduk di bangku di bawahnya.
Sempurna!
Slapp
Tiba-tiba, seberkas sinar melesat lalu jatuh ke dalam kolam.
“Bintang jatuh?” gumamku lirih.
Aku pun menjulurkan kaki menapaki dasar kolam. Aku terkesiap melihat dasar kolam yang begitu terang dan jernih. Perlahan beberapa capung mengepakkan sayapnya dan berkumpul di atas kolam.
“Benar, itu bintang jatuh.”
Aku bingung mencari sumber suara. Kutoleh ke kiri dan ke kanan, sepi tak ada siapa-siapa.
“Aku di sini. Di depanmu.”
Seekor capung merah menari-nari di hadapanku. Aku masih ragu untuk bisa mempercayai.
“Kamu bisa bicara?”
Capung merah itu terbang tinggi lalu hinggap di pohon Tabebuya, tepat di atas bunga kuning yang mekar. Aku beranjak dari kolam dan mengikutinya, lalu duduk di bangku di bawah pohon itu.
“Iya. Aku Tiana. Namamu Reena, kan?”
Aku mengangguk, dan mencoba mempercayai apa yang kulihat.
“Bintang jatuh tepat saat purnama bersinar adalah tanda keberuntungan. Ya, keberuntungan yang berlipat ganda. Apa yang kau inginkan untuk menjadi keberuntunganmu?” tanya peri Tiana.
Ya aku meyakininya sebagai ibu peri seperti dalam dongeng yang pernah kubaca.
“Aku ingin ibuku kembali sehat dari stroke. Kelak jika aku menikah, beliau bisa berdiri di sampingku,” jawabku kemudian.
“Itu saja?” Kutatap sinar mata bening peri cantik itu.
Aku mengangguk pasti.
“Baiklah. Di tepi kolam yang akan kamu buat itu akan tumbuh Ginkgo. Daunnya mirip semanggi. Rawatlah dengan baik, lalu petiklah tujuh helai setiap sore hari, rebus dan sajikan untuk ibumu. Yakinlah, dia akan sehat kembali,” sambungnya lalu melesat ke atas.
“Reen … bangun. Pulang nggak?” Kulihat wajah teduh pemilik rumah desain tempatku bekerja sudah berdiri di samping meja kerjaku.
“Maaf, aku ketiduran, Pak.”
“Pindahlah ke kamar samping. Di sana juga kosong. Istirahatlah. Ini sudah larut.”
“Tapi, saya harus pulang.”
Dia mengulurkan kunci mobil agar aku aman sampai di rumah.
Tiga bulan sejak selesainya proyek taman, aku sering berkunjung ke butik untuk merawat tanaman di taman sekaligus mengambil daun Ginkgo untuk Ibu. Beberapa minggu kemudian, aku sering lembur menggarap proyek taman sudut kota yang dipercayakan kepadaku.
“Reena. Malam ini kuantar pulang saja. Kau terlalu letih. Besok kau free dulu.”
Melihatku pulang bersama Pak Bayu, senyum Ibu mengembang sempurna. Dengan ringan beliau melangkah menyambut kedatangan kami.
“Mulai besok, kalian tinggal di rumahku saja. Kita rawat ibu sama-sama,” bisik Pak Bayu lalu menggamit lenganku mendekati ibu.
Kulihat seekor capung merah terbang melintas di antara kami.
***
Editor: Fitri Junita