Oleh : Sukma Widya
Tidak ada pagi yang tidak diisi dengan hiruk-pikuk keramaian. Sama halnya dengan isi hati dua gadis yang ada didalam mobil sedan ini. Nahdira Rumaisha dan Dinda Tania Putri. Dari tadi keduanya begitu gugup untuk menuju sekolah baru mereka. Bukan karena mereka baru saja dipindahkan dari sekolah lama mereka, melainkan karena program beasiswa dari Pondok Pesantren, tempat mereka menimba ilmu selama hampir lima tahun.
Nadhira dan Dinda adalah dua santriwati terbaik di Pondok Pesantren Al-Hasan. Mereka sekarang duduk di kelas XI Madrasah Aliyah. Pencapaian terbaik mereka itulah sehingga mereka berkesempatan mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan Strata-1 ke Jepang. Namun, hanya satu diantara mereka yang akan pergi ke Jepang. Untuk itu mereka mendapat ujian dengan bersekolah di sekolah umum. Ujian ini bertujuan untuk melihat, apakah mereka akan mampu mempertahankan prinsip agama yang telah mereka pelajari atau mereka akan ikut terbawa oleh pergaulan remaja di luar sana.
SMA Negeri 01 Bandung,sekolah yang dipilih oleh pihak Pondok Pesantren Al-Hasan. Setelah 30 menit mereka berjibaku dengan kemacetan, akhirnya mereka kini sudah berdiri di depan gerbang sekolah tersebut.
Nadhira dan Dinda mematung di depan gerbang. Tubuh kedua gadis itu merinding, membayangkan selama satu semester mereka akan berinteraksi langsung dengan makhluk yang bernama lelaki. Maklum, mereka sudah terbiasa selama lima tahun berinteraksi hanya dengan perempuan, karena memang pondok pesantren mereka hanya khusus untuk muslimah.
Mereka berjalan memasuki gerbang. Mereka terlihat bingung. Belum tahu dimana letak ruang Kepala Sekolah. Mereka melewati lapangan basket yang isinya siswa laki-laki semua.
“Nad, Nad, berhenti. Enggak mau ah aku lewat situ. Cari jalan lain yuk,” ajak Dinda.
“ Mau lewat mana? Kan kita belum paham sekolah ini Din,” jawab Nadhira. Dia pun sebenarnya juga tidak ingin melewati kerumunan siswa laki-laki yang sedang bermain basket itu. Nadhira terus berjalan, tanpa dia sadari Dinda sudah berputar arah untuk mencari arah yang lain.
“ Hai, kamu siswa baru ya? Kenalin aku Tio,” ucap salah satu siswa laki-laki itu, sambil mengulurkan tangan.
Nadhira yang tiba-tiba disapa merasa sedikit kaget. Rasanya ingin menghilang saja.
“Duh, ngapain sih ini cowok?” ucap Nadhira dalam hati.
“Hei,..” seru Tio lagi sambil melambaikan tangannya di depan wajah Nadhira yang terlihat kikuk.
“Aaa, iya aku mencari ruang Kepala Sekolah,” ucap Nadhira yang akhirnya sadar dari kekikukannya. Dia menangkupkan tangan di dada, tanda bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim tidak boleh bersentuhan.
“Oo, itu di sebelah Laboratorium Biologi,” jawab Tio sambil menunjuk gedung berwarna hijau menutupi rasa malunya karena jabat tangannya ditolak mentah-mentah.
“Ooh, terima kasih”, ucap Nadhira sambil berlalu begitu saja.
Tio memperhatikan langkah gadis berkerudung lebar itu. Baru kali ini ada yang cuek menanggapinya. Padahal siapa yang tidak tahu bahwa Tio adalah kapten basket. Idola para gadis di sekolah itu.
Nadhira melangkah masih dengan rasa gugup di hatinya. Ini kali pertama dia berhadapan langsung dengan seorang laki-laki selain ayahnya. Dinda yang sudah berdiri di depan ruang kepala sekolah terlebih dahulu. Dia merasa geram dengan sikap Nadhira yang menanggapi obrolan Tio. Dinda merasa bahwa Nadhira sudah lupa untuk apa mereka ada di sekolah ini.
Bersambung..
Editor : Dian Hendrawan