Buket Lamaran
Ia benar-benar lelaki tangguh yang tak mudah putus asa. Lama digantung tanpa jawaban tak lekas membuatnya kecewa. Tiga tahun berlalu, pertanyaan yang sama kini dilontarkannya kembali.
“Maukah menjadi istriku?”
Ia berdiri di hadapanku, kemeja kotak-kotak berbahan flanel membalut tubuhnya yang tinggi. Perpaduan merah dan hitam sungguh sangat kontras di kulitnya yang putih bersih. Harum parfum yang dikenakannya menguar lembut, menghipnotisku hingga terdiam seribu bahasa.
Detik berlalu berganti menit. Merasa tak mendapat jawaban, ia mulai berjongkok lalu mengulangi pertanyaan sama, “Maukah menjadi istriku?”
Aku masih bergeming.
“Haruskah aku menunggu lagi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menjawab lalu menerimaku?” Mimik mukanya teramat serius, tak seperti biasanya yang jenaka.
Otakku berpikir keras, aku harus memberi jawaban atas sesuatu yang berkenaan dengan kehidupanku. Tak tampak sisi buruk. Setelah lima tahun mengenalnya. Kriteria lelaki idaman pun melekat, dewasa, bertanggung jawab, penyayang, penyabar dan sudah memiliki pekerjaan tetap. Bukankah umurku pun sudah cukup untuk menikah.
Aku menelisik ke dalam bola. Mencari kemungkinan adanya kebohongan atau candaan terselip di sana. Nihil, ia tak main-main kali ini.
“Aku terima lamaranmu dengan syarat, kamu tak akan menyakiti, juga meninggalkanku apapun keadaan kita nanti. Apakah kamu bersedia?”
“Bersedia, aku berjanji memenuhi semua persyaratanmu.”
Binar matanya menjadi begitu indah, lengkung garis di wajahnya pun terukir jelas.
“Ikut aku!”
“Kemana?”
“Jumpa ibu, aku tak ingin menundanya lagi.”
***
Aku melingkari deret angka pada kertas yang tertempel di dinding. Empat puluh lima hari, aku menghitungnya dengan teliti. Hari ini adalah langkah baru sebelum masuk ke jenjang yang lebih tinggi.
Gamis berbahan brokat tulang merah marun, Bertabur payet mutiara berwarna senada pula. Untuk kerudung, warna perak kupilih, salah satu warna kesukaanya. Wajahku dirias senatural mungkin, warna pastel lebih kusukai.
Benda pipih bersampul silikon bening, menyala. Panggilan tatap muka dari sebuah aplikasi berwarna hijau, tertulis Belahan Jiwaku. Tombol Oke, kutekan cepat.
[Amboii, cantiknya belahan jiwaku. Tak sabar rasanya ingin segera sampai lalu memelukmu hingga tua bersama]
[Aish, di mana sekarang?]
[Sabar, ya. Ibu juga rombongan segera melucur. Aku mampir toko bunga dulu, tadi ibu lupa beli buket untukmu.]
[Tak usah pake buket, lah]
[Mana boleh begitu, bukankah bunga perlambang cinta]
[Cintamu melebihi segalanya bagiku]
[Sekarang pandai merayu belahan jiwaku. Sudah ya, aku jalan dulu. Aku ingin jumpa denganmu lebih cepat]
[Hati-hati, yaa]
[Siap, belahan jiwaku]
Harusnya, ia dan rombongan sudah datang. Satu jam berlalu, melukiskan kecemasan. Tidak saja pada keluargaku akan tapi juga para tamu. Bisik-bisik di antara mereka lebih terdengar seperti obrolan di tengah pasar.
Air muka Bapak berubah setelah seseorang berbisik di telinganya. Kemudian Mama mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi. Seketika beliau ambruk, suasana bertambah gaduh.
“Apa yang terjadi, Mama kenapa?” tanyaku pada Bapak.
“Kejadian yang sama terulang lagi, Nak.” Suara Bapak terdengar parau lagi samar.
“Rully mengalami kecelakaan saat membeli buket. Sama persis seperti yang dialami Yoga.”
“Tidaak! Tuhan, sebenci itukah Engkau padaku. Hingga tak cukup satu kali ini terjadi!” jeritku sekuat-kuatnya. Air mataku tumpah, gelap lalu senyap.
Palembang, 07 Juli 2021
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#lamaran
#Day2
Editor : Dian Ananti