Alhamdulillah, aku bisa bangun pagi-pagi dan tidak ketinggalan ke Pasar Patang Puluhan. Biasanya kalau pas hari libur, sehabis salat Subuh aku tidur lagi hingga sekitar jam tujuh baru bangun. Itu juga untuk sarapan pagi bareng Eyang dan Bulik Yanti.
Setelah dari pasar aku mau ikut Bulik Yanti ke rumah temannya yang punya usaha membuat bakpia, di Kampung Pathuk, Jalan KS Tubun. Bulik mengajakku ke sana untuk membeli bakpia buat camilan di rumah karena persediaan sudah habis.
Bulik Yanti harus segera membeli kue itu karena ia tidak mau mendapat masalah. Bakpia adalah camilan kesukaan Eyang terutama yang original, rasa kacang hijau.
Setiap jam delapan pagi, Bulik Yanti harus menyediakan bakpia rasa kacang hijau itu di meja Eyang lengkap dengan teh manis. Camilan itu wajib ada dan tidak boleh telat. Jika tidak, maka Eyang akan marah-marah seharian dan tidak mau makan. Seisi rumah bakal kena imbas akibat kemarahan Eyang.
Aku dibonceng sama Bulik Yanti naik motor Yamaha Mio warna merah, sambil menggendong anak perempuannya yang baru berusia dua tahun, Novia. Bersyukur jalanan tidak terlalu ramai jadi lancar hingga pulang lagi ke rumah. Beruntungnya lagi jam belum menunjukkan pukul delapan. Kata Bulik Yanti masih ada waktu bernapas.
“Nur, sini, Nduk!” panggil Eyang dari dalam kamar.
Aku yang baru turun dari motor segera berlari menghampiri.
“Iya, Yang. Sebentar, Nuri ke situ!” jawabku setengah berteriak.
“Ambilkan kue bakpia Eyang, ya. Tanya sama bulikmu!” pinta Eyang sambil tangannya menunjuk ke arah Bulik Yanti yang ada di luar. Aku mengangguk mengiyakan.
Cepat-cepat aku menghampiri Bulik Yanti dan membawa Dek Via.
“Ini, Eyang. Dedek Vianya,” kataku kepada Eyang begitu sampai di kamar. Dek Via segera aku turunkan dari gendongan ke pangkuan Eyang.
Eyang memandangku dan Dek Via bergantian dengan wajah keheranan. Aku jadi deg-degan melihat ekspresi wajah Eyang.
“Lha, kamu mau ke mana, Nur? Tangan Eyang udah enggak kuat megang Dek Via. Nanti malah jatuh. Bulikmu lagi apa?” tanya Eyang dengan nada khawatir.
Aku agak terperanjat, bingung. Bukankah tadi Eyang ingin diambilkan Dek Via? Makanya Dek Via yang sedang digendong Bulik Yanti kuminta untuk dibawa ke Eyang. Kenapa sekarang bilang enggak kuat? Aneh.
“Loh, kan Eyang yang minta dibawain Dek Via,” tukasku agak takut campur kesal merasa dikerjai Eyang.
“Eyang itu minta diambilin bakpia, Nuri. Bukan Dedek Via!” seru Bulik Yanti dari balik pintu sambil senyum-senyum membawakan kue kesukaan Eyang.
“Oalaaah. Jadi aku yang salah dengar ya, Bulik?” selorohku seraya menggendong Dek Via yang hampir saja duduk di pangkuan Eyang.
“Nuri … Nuri,” ucap Eyang dan Bulik Yanti hampir bersamaan sambil menggeleng-gelengkan kepala, tertawa lebar.
“Bakpia … bakpia,” kataku sembari ikut tertawa menyadari kesalahan yang tidak kusengaja itu.
Bandung, 20 April 2019
***