Oleh: Nusifera
Sudah sebulan ini Mira turut menemani ibunya, menjaga sang ayah yang sakit keras di rumah sakit besar di ibukota. Ayah Mira divonis terkena penyakit sirosis hati. Salah satu penyakit kanker yang menyerang organ lever.
Ini bukan kali pertama ayahnya masuk rumah sakit. Di kampung tempat tinggalnya, sudah beberapa kali beliau keluar masuk rumah sakit. Tak usah ditanya sudah berapa banyak uang yang keluar untuk pengobatan dan biaya rumah sakit. Namun, ibunya tak pernah putus asa, selama masih ada harapan untuk sembuh, semua diusahakan.
Sebenarnya, Mira merasa pesimis akan kesembuhan ayahnya, makin hari terlihat makin kurus, seperti kulit berbalut tulang, hanya perutnya yang makin membuncit, dan kulit menguning, akibat penyakit yang dideritanya.
“Ra, tolong tebus obat ini di apotik bawah, ya!” perintah Ibu pada Mira, yang sedang duduk di sofa kamar. Kamar rawat kelas satu yang harusnya untuk dua orang pasien, saat itu hanya ditempati oleh ayahnya saja. Jadi mereka leluasa di situ.
“Baik, Bu.” Mira bangkit langsung menghampiri Ibu yang menyerahkan secarik kertas resep.
“Memangnya obat ayah sudah habis, Bu?” tanya Mira.
“Kata perawat hampir habis, buat jaga-jaga biar tidak kehabisan.”
Mira keluar kamar menuju lift sambil membawa resep di tangan mengikuti perintah ibunya menuju apotik, tepat tiga lantai di bawah dia berada saat ini. Sepanjang jalan pikirannya berkecamuk. .
Sampai kapan ayah harus minum obat-obatan yang segini banyaknya?
Kalau begini terus, bukankah akan merusak organ tubuh yang lain?
Tak terasa Mira sudah tiba di depan loket apotik. Segera dia menyerahkan resep kepada petugas apotik.
“Silakan duduk dulu ya, Dik, nanti kalau obat sudah siap akan dipanggil,” ujar petugas itu. Mira hanya mengangguk lalu berjalan menuju kursi panjang yang memang disediakan untuk yang mau menebus obat.
Rupanya yang menebus obat saat itu lumayan banyak, jadi perlu waktu lama sampai akhirnya Mira mendengar nama ayahnya dipanggil. Bergegas dia ke loket, mengambil obat, dan segera kembali ke kamar rawat. Mira melirik jam di pergelangan tangannya
“Ya ampun, hampir satu jam aku di apotik!” Dia mempercepat langkahnya, entah mengapa hatinya tiba-tiba merasa tak enak. Pikirannya tertuju pada ayahnya.
Hampir setengah berlari dia menyusuri koridor rumah sakit. Begitu mendekati kamar ayahnya, tampak perawat mendorong tempat tidur pasien keluar dari kamar. Sesosok tubuh tertutup kain putih terbujur kaku di atasnya.
“Ayaahh …,” teriak Mira histeris, langsung menghambur memeluk tubuh kaku itu. Menangis sejadi-jadinya.
“Miraa! Ngapain kamu?” Sebuah suara menghentikan tangis Mira. Dia menoleh cepat ke arah suara itu. Tampak ibu memandang kepadanya dengan pandangan penuh tanda tanya, sementara di sebelahnya berdiri Ayah Mira.
***