Akhir-akhir ini aku dibuat bingung oleh tingkah Jessy. Entah apa yang harus aku bilang ke Ayah nanti sepulang dari luar kota. Masa harus berbohong lagi? Bagaimana kalau sampai ketahuan?
Ah, masa bodoh. Untuk apa aku pusing memikirkan gadis itu. Sementara, dia tidak pernah peduli sedikit pun padaku.
[Kak, aku tidur di rumah Dea. Awas, ya, kalau ngadu ke Ayah. Aku pulang besok.]
Kubaca pesan singkat dari Jessy dengan perasaan hampa. Seperti biasa, isinya tidak akan jauh dari instruksi, pemberitahuan, dan ancaman. Aku benar-benar malas membalasnya.
***
[Bin, Jessy baik-baik saja, kan? Ingat, ya. Jaga adikmu itu. Jangan sampai keluyuran terus, khawatir kenapa-kenapa. Kamu harus bisa memastikannya, lo.]
Ayah. Laki-laki itu tidak sekali pun menanyakan bagaimana keadaanku. Dia selalu peduli pada Jessy, seolah aku tidak ada.
Coba saja baca sekali lagi pesan itu. Sepertinya ia tidak mau tahu tentang kondisiku. Selalu saja, Jessy Jessy, dan Jessy. Tak ada nama lain yang tertulis, selain nama gadis itu.
Salahkah aku jika membencinya? Aku benci Ayah sekaligus Jessy. Mereka berdua sama saja. Hanya bisa menyuruhku. Apakah aku ini terlahir untuk menjadi pesuruh mereka?
Spontan kutinju tembok kamar tempat badanku bersandar.
Darah yang mengucur dari jemariku tak kuhiraukan. Biarkan saja. Toh, itu hanya luka yang bisa kuobati sendiri menggunakan betadine. Nanti juga sembuh. Luka itu tak seperti sayatan di dada yang ditorehkan Ayah dan Jessy.
Gemuruh di dada tak mampu kukendalikan lagi. Sikap ayah dan adik semata wayangku itu tidak bisa aku toleransi. Mulai hari ini aku akan belajar egois dengan tak acuh pada mereka.
Mungkin untuk Ayah, aku akan berakting sedikit. Setidaknya, sampai Ayah kembali lagi ke rumah.
***
Pagi itu Jessy tampak sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Aku duduk santai sambil menikmati secangkir kopi hitam di meja makan.
“Kak, aku berangkat, ya. Enggak usah diantar, aku bareng sama teman,” ucapnya seraya ngeloyor pergi. Aku tidak menjawab sepatah kata pun, selain memandangnya hingga keluar pintu.
Pergi saja sana, batinku mengomel. Seteguk kopi hitam menghangatkan kerongkonganku.
“Tolooong!” tiba-tiba aku mendengar teriakan seseorang dibarengi suara motor yang melaju kencang.
Naluri lelakiku tergugah. Seketika itu juga aku berlari ke luar rumah untuk melihat apa yang sedang terjadi. Darahku bagai tersedot ke ubun-ubun saat menyaksikan Jessy tergeletak di pinggir jalan dengan bersimbah darah.
“Jessy!” teriakku spontan memecah keheningan. Pagi itu, jalanan memang masih sepi dan belum banyak orang yang lalu lalang.
Tanpa banyak berpikir segera kuhampiri tubuhnya yang terluka dan mengangkat pelan-pelan ke halaman rumah dibantu beberapa warga sekitar.
Setelah mengunci pintu dan memastikan rumah aman, aku membawa Jessy ke rumah sakit terdekat. Aku bersyukur memiliki tetangga yang saling peduli. Bantuannya sangat berarti di saat-saat seperti ini.
***
Tubuh langsing semampai yang biasa ceria itu, kini tergolek lemah tak berdaya. Menurut dokter, lukanya tergolong berat dan harus ditangani secara serius.
Ada berjuta kecamuk perasaan yang meneror di dasar hati. Pergulatan antara rasa bersalah yang muncul dan pembelaan diri.
“Maafkan aku, Ayah,” gumamku pelan sambil menghela napas dan mengembuskannya perlahan.
Ternyata aku tidak bisa bersikap egois, apalagi berpura-pura tidak peduli. Melihat kondisi Jessy yang kritis membuat hatiku menangis.
Tuhan, selamatkan Jessy, adikku, doaku tulus dari dalam hati sembari menahan tangis yang ingin pecah. Aku tidak mau orang-orang di sekitar menyaksikan air mata di wajahku. Meski aku sangat ingin melakukannya.
Tiba-tiba ponsel di celana panjangku bergetar.
[Bin, bagaimana Jessy? Sudah kau antar ke sekolah, kan? Jangan lupa uang saku yang Ayah titipkan padamu. Jaga adikmu, lo!]
Pesan Ayah membuatku semakin tersiksa. Bagaimana caraku memberitahu Ayah keadaan Jessy sekarang? Aku masih bingung untuk mengatakan padanya kecelakaan itu. Biarlah untuk sementara waktu ia tidak mengetahuinya. Nanti saja bila sudah pulang ke rumah.
***
Plakkk!
Sebuah tamparan melayang di pipiku. Sakit. Perih. Aku hanya diam menerima perlakuan Ayah dengan pasrah. Biarlah Ayah puas menyiksaku, asal aku terbebas dari impitan rasa bersalah yang besar.
Andai saja Ibu masih hidup, pasti hal itu tidak terjadi. Ibu akan mati-matian membelaku meski harus bertengkar dengan Ayah. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan yang menyakitkan.
“Kamu ini kakak seperti apa, ha!? Dasar anak tidak tahu diri!” Suara Ayah menggelegar di telinga. Matanya memerah menatap tajam ke arahku.
Aku tak bisa mengucap sepatah kata pun. Lidahku kelu, hatiku kian membiru. Lebam oleh serangkaian kalimat yang meluncur dari bibir lelaki yang kupangggil Ayah.
“Ayah sudah wanti-wanti, kan. Jaga Jessy! Kenapa kamu lalai?” cercanya sambil membanting tas yang sedari tadi dipegangnya.
Aku tak berani menatap wajah Ayah yang sedang murka. Bagaimana pun aku memang salah. Andai saja pagi itu aku mengantar Jessy seperti biasanya, mungkin tidak akan terjadi kecelakaan itu.
“Awas, kamu! Kalau sampai Jessy kenapa-kenapa, Ayah tidak akan terima,” ucap Ayah ketus. Terdengar dengan jelas suara gemeretak gigi yang beradu.
“Dengar! Kamu harus tahu sekarang, siapa kamu ini sebenarnya. Kamu itu bukan anak Ayah. Entah siapa ayahmu hanya ibumu yang tahu. Tanyakan sana ke kuburan kalau penasaran.”
Apa? Aku bukan anak ayah? Kenapa ibu tidak pernah cerita padaku? Lantas untuk apa aku diasuh oleh ayah jika untuk disia-sia?
“Ayah pikir dengan setuju mengasuhmu bisa menjadi pelindung buat, Jessy, Anak ayah. Tapi mana? Apa yang kuperoleh? Ha?!”
Kata demi kata yang terlontar bagai belati. Menyayat tanpa ampun di relung hati.
Tuhan, apa salahku?
Terjawab sudah teka-teki selama ini. Mengapa ayah berbeda memperlakukan aku dengan Jessy.
***
Selamat tinggal, Ayah, Jessy. Tak ada gunanya aku berada di sini. Terima kasih sudah memberi aku tumpangan hidup selama ini.
Bandung, 14 September 2019