Oleh: Haryati Hs.
Asih duduk di bawah pohon kelapa yang terletak di pinggir sawah. Matanya menatap kekeringan yang terpampang di hadapannya. Hatinya pedih. Kemarau yang teramat panjang telah merenggut keindahan dan kesejahteraan desanya.
Dengan lemah, ia menyelonjorkan kaki dan menundukkan kepala. Tiba-tiba, terdengar suara merdu yang sayup-sayup memanggil namanya. Dengan sisa tenaga, Asih mencari sumber suara itu. Kemudian, ia melihat cahaya terang berkelebat menghampirinya dari tengah sawah.
Asih ternganga. Dari balik cahaya yang menyilaukan itu, melangkah dengan anggun seorang dewi yang rupawan, berambut hitam panjang dengan mahkota di kepalanya, dan bertubuh semampai. Sang dewi yang berbalut baju kerajaan itu tersenyum, lalu meraih tangan Asih dan membawanya memasuki cahaya.
“Ini di mana?” tanya Asih bingung ketika mendapati dirinya berada di depan sebuah puri kecil nan elok yang terletak di tengah hamparan sawah yang kuning keemasan.
“Kamu berada di negeri Loh Jinawi,” jawab sang dewi sambil membimbingnya masuk puri.
“Indah sekali puri ini!” seru Asih takjub.
Ketika ia dibawa ke sebuah meja yang penuh dengan makanan, Asih terlonjak riang.
“Makanlah, Asih,” ujar sang dewi sambil tersenyum.
Asih menyantap makanan yang terhidang dengan lahap. Namun, kejap berikutnya ia tercenung memandang hidangan mewah itu dan menitikkan air mata.
“Mengapa kau menangis, Asih?” tanya sang dewi dengan suara yang menyejukkan.
“Dewi, aku teringat orang-orang di kampungku. Mereka sedang kelaparan saat ini.”
Sang dewi mengulurkan tangannya untuk membelai rambut Asih.
“Apakah kau kasihan kepada mereka?”
Asih menjawab pertanyaan sang dewi dengan anggukan.
“Dengar, anakku, manusia harus selalu berusaha dan bersyukur dalam hidup. Bila usaha berhasil, janganlah lupa berterima kasih kepada Sang Maha Kuasa. Jika gagal, berusahalah selalu dan jangan kehilangan keyakinan kepada-Nya,” tutur sang dewi memberi nasihat.
Asih terisak. Ia teringat orang-orang di kampungnya yang sempat marah kepada Tuhan karena tidak juga menghentikan kemarau panjang ini.
“Jangan marah kepada Yang Kuasa. Bercerminlah dan lihat apa yang telah kalian lakukan kepada alam! Perbaikilah!” Sang dewi melanjutkan nasihatnya.
Asih ingin mencurahkan semua beban hatinya kepada sang dewi, tetapi samar-samar di luar puri banyak suara berteriak ramai. Asih menoleh pada sang dewi.
“Saatmu untuk kembali telah tiba, Nak,” ujar sang dewi. Ia memberi isyarat kepada seorang dayang untuk membawakan sesuatu. Ternyata serumpun padi. Sang dewi menyerahkan padi itu kepada Asih dan membimbingnya keluar menuju pintu cahaya.
Sebelum melangkah masuk ke pintu cahaya, Asih meraih selendang sang dewi dan bertanya, “Sebenarnya, siapakah, Dewi?”
“Panggil saja Nyai Pohaci. Pulang dan ingatlah pesan Nyai.”
Asih mengangguk dan memasuki pintu cahaya.
Sementara itu, di dekat sebuah pohon kelapa di pinggir sawah, masyarakat desa mengerumuni sosok gadis remaja yang tergolek tidak berdaya di tanah. Mereka berusaha menyadarkan gadis itu.
“Dia siuman!” seru seseorang ketika melihat mata Asih terbuka. Kemudian beberapa orang membantunya duduk bersandar pada batang kelapa.
“Nak, kamu tidak apa-apa?” tanya seorang kakek kepada Asih.
Asih mengangguk lemah, lalu mengangkat tangan kanannya yang menggenggam serumpun padi. Hal itu membuat semua orang merasa heran.
“Dari mana kamu mendapatkan padi itu, Nak?” tanya sang kakek.
Asih menatap pintu cahaya yang perlahan menghilang.
“Nyai Pohaci,” sahutnya seraya tersenyum.
Editor : Rizky Amallia Eshi
#ajangfikminJoeraganArtikel2021
#Day6
#temamitologi
Keren…bisa ketemu Dewi Padi ??