Tanpa sengaja aku mencuri dengar pembicaraan Nenek dengan Bunda saat sedang membereskan pakaian Ayah di ruang kerjanya.
“Apakah harus, Bu? Bagaimana dengan anak-anak? Kasihan mereka, kan, kalau harus pindah-pindah,” tanya Bunda menawar rencana Nenek.
“Ya, memang nggak harus, Lin. Tapi coba kamu renungkan baik-baik bila tidak pindah. Kira-kira akan seperti apa?” saran Nenek menyejukkan hati. Aku mencoba menerjemahkan maksud pembicaraan dua perempuan yang kusayangi itu.
Terbayang di benakku bila aku dan Mbak Ratih pindah sekolah di dekat rumah nenek di kampung sana. Artinya, aku akan menemukan orang-orang baru, kenalan baru, semuanya baru. Waduh, bagaimana, ya?
“Dik, seusai sekolah segera pulang dan bantu Bunda beres-beres, ya. Kita harus mengepak barang yang akan dibawa besok. Kopermu disiapkan juga, lo,” kata Bunda mengingatkan aku.
“Apakah aku juga harus pindah sekolah, Bun?” tanyaku sedikit bingung.
Bunda tersenyum mendengar pertanyaanku. Dielusnya rambutku dengan lembut, lalu diciumnya.
“Adik nggak usah mikir macam-macam dulu, ya, Sayang. Tugas Adik itu sekolah yang benar dan belajar yang tekun. Kalau memang perlu adanya kepindahan, Bunda pasti akan ngomong,” papar Bunda melegakan hati.
*
Mengantarkan Nenek pulang ke kampungnya mengingatkan kembali pada Ayah yang telah dipanggil Allah sebulan lalu. Ayah yang biasanya mengantar dan menjemput Nenek.
Tak kuasa air mataku menitik teringat akan sosoknya yang baik dan penuh kasih sayang. Andai saja Ayah masih ada, pasti sekarang sedang berada di antara kami.
Sejak kepergian Ayah, tidak ada lagi yng mengantar dan menjemputku, Mbak Ratih, Bunda, juga Nenek. Sekarang kami harus bisa mengatasi semua masalah sendiri tanpa Ayah. Ya, semuanya.
Aku bersyukur masih memiliki seorang Bunda yang hebat. Bunda yang dengan kasih sayangnya siap berkorban untuk anak-anaknya. Walaupun, ia harus melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh Ayah, Bunda pantang mengeluh dan selalu tersenyum.
Aku tahu Bunda pasti sedih dan kesepian tanpa Ayah. Namun, tak pernah sekalipun Bunda menampakkan kesedihannya di depan kami. Bunda selalu tampak bersemangat.
Aku dan Mbak Ratih belum pernah melihat Bunda menangis, kecuali setelah Ayah dinyatakan meninggal oleh dokter dan beberapa hari sesudahnya.
Setelah seminggu kepergian Ayah, Bunda kembali tegar membersamaiku dan Mbak Ratih yang justru masih merasa kehilangan sampai sekarang. Aku dan Mbak Ratih diam-diam suka menangis berdua kalau rindu pada Ayah.
Bunda yang menguatkan aku dan Mbak Ratih untuk mengikhlaskan kepergian Ayah. Kata Bunda, semua orang akan mati dan tidak ada yang bisa mengingkarinya. Tak ada satu pun manusia yang tahu kapan datangnya kematian. Karena kematian adalah rahasia Allah.
Jadi, jangan terlalu berlebihan menyikapi kematian Ayah karena aku, Mbak Ratih, Bunda, dan semua orang akan mengalami hal yang sama.
“Bunda juga sedih atas kematian ayah kalian. Namun, kita tidak boleh meratapi kesedihan itu dengan berlebihan. Tidak boleh. Kita harus bangkit bersama, saling menguatkan sebagai keluarga, dan membuat Ayah bisa tersenyum di sana,” nasihat Bunda padaku dan Mbak Ratih kala itu.
Bunda tak henti-hentinya mengingatkanku dan Mbak Ratih untuk selalu mendoakan Ayah setiap kali salat. Terima kasih, Bunda.
Maafkan, kami Ayah. Mungkin selama ini kami belum bisa menjadi anak yang membanggakan buat Ayah, batinku sedih.
Ya Allah, terimalah segala amal ibadah Ayah dan berikan tempat yang indah di sisi-Mu.
*
Di rumah Nenek, banyak mengingatkan tentang Ayah dengan segala kehidupannya. Karena Ayah lahir dan dibesarkan Nenek di rumah itu. Aku senang berada di rumah Nenek yang besar dan lengkap dengan kenangan tentang Ayah. Namun, aku tidak seperti Mbak Ratih yang gampang akrab dengan orang lain meskipun baru kenal. Aku tak lebih dari seorang yang pemalu dan pendiam.
Hari ini Nenek dan Bunda sengaja mengajakku dan Mbak Ratih untuk mengenalkan lingkungan sekitar rumah Nenek. Setelah beristirahat sebentar, kami langsung berkeliling mengunjungi sekolah terdekat, pasar, tempat bermain dan rekreasi keluarga, dan tempat-tempat lain yang biasa dikunjungi Ayah serta keluarga besar Nenek.
“Kalian sengaja Bunda dan Nenek ajak ke sini biar lebih mengenal tempat tinggal Nenek tempat asal Ayah. Siapa tahu kita akan pindah ke sini, maka kalian tidak merasa asing. Jadi, nikmati saja perjalanan kalian, ya.” tutur Bunda setelah makan siang tadi.
Aku dan Mbak Ratih ikut saja apa yang menjadi rencana Bunda dan Nenek. Yang penting, kami masih bersama menjadi satu keluarga.
“Cucu-cucu nenek tersayang. Jangan cemas atau bingung ya. Di sini tempat Ayah kalian dibesarkan. Lagi pula, nenek sekarang hanya sendiri. Om dan Tante Wina, adik Ayah kalian tidak mau tinggal sama nenek. Dengan siapa lagi kalau tidak dengan kalian. Mau nggak menemani nenek di sini?” tanya Nenek sambil menatapku dan Mbak Ratih bergantian.
“Insyaallah, Nek,” jawabku dan Mbak Ratih hampir bersamaan.
Aku dan Mbak Ratih saling berpandangan penuh arti. Ada banyak hal yang ingin kami bicarakan berdua tentang semuanya termasuk impian dan harapan kami di masa datang.
Kedua tangan Mbak Ratih menggenggamku hangat dengan senyuman indah dan tatapan penuh kasih sayang.
Bandung, 28 September 2019
***