Pagi itu, banyak siswa sedang latihan baris-berbaris di halaman SMU Durenan. Aku, Tika, Wanda, dan Sukma bergegas masuk barisan.
“Jangan bicara sebelum dipersilakan” adalah aturan pertama ketika harus berhadapan dengan Pak Dar, guru killer di sekolah.
“Raya, atur barisan perempuan!”
“Jangan menunggu instruksi ulang” adalah aturan kedua yang juga tak boleh diabaikan. Setiap berhadapan dengan Pak Dar, jangan pernah membiarkan anganmu berkelana bersama Sora, pemain basket idola cewek seantero SMA.
Semua peserta saling melirik. Siapa pun yang ketahuan menoleh, dia bisa kena hukuman. Sayangnya, tak satu peserta pun yang ingat nama Raya.
“Ya, kamu. Maju! Push up, lalu atur barisan cewek!”
Aku gelagapan ketika mataku dan mata Pak Dar beradu. Aku lupa si bapak selalu salah menyebut namaku. Entah bagaimana asalnya Kiara berubah menjadi Raya.
“Siap!”
Energi dari sepiring nasi pecel pagi tadi akhirnya habis untuk pemanasan.
Hari ini, ada pemilihan pasukan khusus sekolah atau Kopasus. Nama Kopasus disematkan untuk petugas inti setiap peringatan hari besar nasional.
Dari penilaian baris-berbaris, hari ini terpilih 30 siswa. Aku dan Sukma masih bertahan mewakili kelas X-Bahasa, sedangkan Tika dan Wanda sudah kembali ke kelas. Di seberang, tepat di bawah tiang bendera, kulihat Sora duduk bersama Dika, sang ketua OSIS. Duo senior maco ini selalu jadi rebutan para cewek.
“Tuh, lihat idolamu! Samperin sana!” Sukma mencolek pahaku.
“Aku? Bukankah Wanda dan Tika yang lagi bertaruh?”
Dalam hati, kuakui aku terpesona. Terakhir kali, aku terpaksa ikut ke lapangan saat ada pertandingan persahabatan dengan SMK Karya Darma. Tim kesehatan harus standby selama pertandingan. Ternyata, akulah yang harus membantu Pak Dar ketika lengan Sora luka dan terkilir akibat jatuh di lapangan.
“Idih …. Bukan tipeku, kali. Jujur saja, kamu tersepona juga, ‘kan?” ledekku.
“Lidahmu jadi ikut keseleo, kan?” Sukma balik meledek.
Si jago Bahasa Jepang itu lebih mengidolakan Dika. Katanya, berdiskusi tentang buku lebih asyik daripada nonton basket.
***
“Ara! Raaa! Wanda pingsan.”
Sukma tiba-tiba datang dengan napas tersengal setelah keliling sekolah. Aku kebetulan sedang berasa di perpustakaan bersama Dika, menyelesaikan poster PIK-R untuk presentasi sekolah sehat.
“Kamu ini susah banget dicari,” keluh Sukma. (Ganti baris)
Segelas air yang kusodorkan membuatnya sedikit tenang.
“Sekarang dia di mana?”
“Sora sudah menggendongnya ke UKS.”
“Lah sudah teratasi, dong.”
“Tapi, UKS kosong. Bu Nunung, kan, sudah ambil cuti melahirkan,” jelas Sukma
Kami bertiga bergegas.
“Sudah dibaluri minyak kayu putih?” tanyaku.
Tika menggeleng. Teman lain kuminta keluar.
“Kak, lepas sepatunya,” kataku kepada Sora.
Aku tak lagi khawatir ketika tubuh Wanda terasa hangat. Kutuang sedikit minyak kayu putih, lalu kukibaskan pelan ke wajah Wanda. Bulu matanya bergerak. Sedikit kutekan kukuku di kulit tangannya yang lembut. Jarinya bergerak.
“Kak, jelaskan kepada Sora ciri-ciri orang pingsan,” kataku sambil melirik Dika.
Dika mengangguk, lalu menarik lengan Sora keluar bersama Sukma.
***
Pada minggu pertama bulan Agustus, aku, Sukma, Dika, dan Sora mendapat kepercayaan untuk menyambut Tim Penilai Sekolah Sehat. Kami berempat membawakan tari Remo. Sora dan Sukma mengacungkan jempol ketika aku dan Dika selesai presentasi program.
“Thanks, Raya. Prestasi yes, cinta …?”
“No!” Kami berempat menjawab serempak.
“Boleh saja, tetapi harus sportif!” kata Pak Dar sambil berlalu.
Kulihat mata Sora lebih bersahabat daripada biasanya.
#ajangfikminjoeraganartikel2021
#Day4
Editor: Saheeda Noor