Namaku Amel, usiaku 13 tahun. Aku bersahabat dengan Ajeng. Setiap pulang sekolah dan mengerjakan tugas, kami selalu bermain di sebuah taman baca.
“Amel, ke sini!” panggil Ajeng dari kejauhan.
“Ya, sebentar,” aku berlari menghampiri Ajeng yang sedang duduk di bangku taman.
Ajeng berbisik padaku, “Aku denger ini dari mereka, kamu bukan anak mamamu.”
Ajeng menunjuk kepada teman-teman lain yang sedang berkumpul di sudut lemari baca.
Aku kaget dan menunduk. Kepalaku terasa panas, dan geram kepada mereka. Aku berpaling dari Ajeng dan teman-teman yang lain. Aku merasa tak percaya akan berita itu, aku pulang tergesa-gesa.
Saat tiba di rumah, aku menangis. Aku masuk ke dalam kamar dan membanting pintu. Ibuku kaget dan bergegas menghampiriku, lalu mengetuk pintu kamarku.
โAmel, kenapa?โ tanya ibu, mengusap kepalaku.
โMaa. Kata teman-temanku, aku bukan anak mama dan papa? Benarkah itu?โ jawabku sambil terisak menangis.
“Siapa yang bilang? Amel anak mama dan papa, kok,” ibuku menenangkan dan memelukku.
Setelah kejadian itu, aku sering gelisah dan memikirkan perkataan teman-temanku. Aku mulai bolos sekolah. Rasa penasaranku bertambah, tatkala kulihat raut wajahku di cermin. Aku merasa wajahku mirip ibu dan ayah. Tapi, aku masih ragu.
Aku mengunjungi bibiku diam-diam. Kutanyakan perihal ayah dan ibuku yang sebenarnya. Bibi menjawab bahwa aku memang anak ayah dan ibuku yang asli. Kemudian, perasaan gelisah itu mereda.
Saat ini, aku berusia 25 tahun. Aku dilamar oleh seorang lelaki, berprofesi sebagai Tentara. Dia bernama Ridwan, kami seusia. Tubuhnya yang tegap, membuatku merasa nyaman bila memeluknya.
Dua bulan sebelum menikah ayahku sakit keras, dan meninggal dunia. Betapa sedihnya hatiku saat itu. Selama ini ayah adalah lelaki yang selalu menjagaku siang dan malam, memanjakanku dan menghiburku saat aku bersedih. Aku merasa kehilangan sosok ayah, tak ada pegangan, rasa sepi sering menyelimuti dalam hati.
Ibu tampak sangat berduka dan frustasi. Dia berkata, “Papa, udah enggak ada. Gimana nasib mama nanti?”
Aku menggenggam tangan ibu, lalu memeluknya erat dengan harapan kami bisa saling menguatkan. Satu bulan kemudian, tiba-tiba ibu demam tinggi. Ibu terpaksa harus dirawat di rumah sakit. Padahal menurut rencana seminggu lagi aku akan menikah dengan Ridwan.
Dua minggu menjelang pernikahanku, ibu wafat. Aku dan keluargaku sangat berduka. Setelah ibu dimakamkan, kami sekeluarga kumpul di ruang tengah.
Bibiku tampak serius dan berkata kepadaku, “Mel, maafkan Bibi. Selama ini kami menutupi asal-usulmu. Sekarang, Bibi mau jujur saja. Amel memang betul bukan anak kandung almarhum mama dan papamu!”
Aku bingung. Pikiranku rasanya kacau, dan hatiku terguncang. Aku menangis pilu.
“Jadi, Amel anaknya siapa, Bi?” tanyaku dengan suara gemetar.
“Kamu, adalah anak pembantu yang bekerja di rumah mama dan papa. Hanya saja, dia menghilang setelah melahirkanmu. Ayah kandungmu pun bibi tidak tahu siapa dia, karena ibu kandungmu waktu itu hamil di luar nikah,” tutur bibi kepadaku.
Perasaanku hancur seketika. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya diam dan meratap dalam hati.
Aku tertidur dekat jendela di kamar ibu. Ibu datang ke dalam mimpiku dan berkata, “Mel, mama dan papa sayang sekali sama kamu. Walau bagaimana pun, kamu adalah anak mama dan papa. Kamu harus ikhlas. Kamu harus menerima takdir ini. Kegelisahanmu sudah terjawab sekarang.”
Aku terbangun. Kulihat Ridwan mendekat kepadaku, dan merangkulku. Aku pun, memeluk Ridwan seeratnya.
Aku ikhlaskan kepergian mama dan papa menuju surga Tuhan. Aku ikhlaskan kehilangan ibu dan ayah kandungku, yang tak tahu ada dimana sekarang.
Akhirnya, bibi dan pamanku yang duduk sebagai orang tuaku di pelaminan.
“Aku kini yakin tak diperlukan aliran darah atau warisan DNA untuk menjadi sebuah keluarga.”
#ajangfikminjoeraanartikel2021
#temaikhlas
#day10
Editor : Ruvianty
Sumber foto : Pixabay