Braaakkk!
Suara pintu depan yang dibanting membuat seisi rumah keluar kamar. Kedua anakku yang sedari tadi di kamar dan ibuku yang tidur terbangun.
“Ada apa, Ma? Papa marah lagi, ya?” tanya kedua anakku hampir bersamaan. Tia dan Dio sudah terbiasa dengan kelakuan ayahnya yang pemarah.
Aku terdiam tidak menjawab. Kepalaku saja yang mengangguk kecil, mengiyakan apa yang baru saja terjadi.
“Papa ada masalah apa, sih, Ma? Memangnya tidak ada cara yang lebih baik selain dengan marah? Kasihan Mama,” keluh Dio sambil mengusap tanganku dengan lembut.
Terima kasih, ya, Allah. Engkau berikan anak-anak yang peduli terhadap ibunya, batinku penuh syukur.
Kuberikan selembar kertas berisi surat peringatan dari sebuah bank pada Dio.
“Jadi rumah ini mau disita, Ma? Terus kita akan tinggal di mana? Bagaimana dengan sekolah Dio dan Tia? Papa keterlaluan! Jahaaaat!” Dio berteriak. Dia tidak mampu mengendalikan emosinya.
Aku tak bisa berkata-kata. Tak ada gunanya. Toh, mereka hampir setiap hari menyaksikan perilaku buruk ayahnya. Tia berlari mendekap Dio, kakaknya, sambil menangis.
Tak kuasa menahan haru, kupeluk mereka berdua dengan perasaan hancur berkeping-keping. Ada setumpuk rasa bersalah yang menghimpit dada. Aku merasa gagal sebagai orang tua yang tidak mampu memberikan hak-hak anak dengan semestinya.
Tiba-tiba aku merasakan ada sepasang tangan yang mengelus lembut rambutku. Sentuhannya begitu hangat, membuatku damai, hingga tanpa sadar aku sudah menyandarkan kepala dan tenggelam di pelukannya.
Aku tahu siapa pemilik tangan itu, dia adalah seseorang yang istimewa dalam hidupku. Seseorang yang telah mengajariku bagaimana caranya berdiri setelah jatuh dan berjalan kembali dengan penuh percaya diri.
Dia, ibuku, orang yang rela mengorbankan energi dan waktunya hanya untuk melihat anak dan cucunya bisa tersenyum.
โSabar, ya, Nduk. Ini memang ujian yang berat. Tapi ibu yakin, kamu akan bisa melaluinya dengan baik. Sekarang, kamu istirahatlah,” ucap perempuan yang kupanggil Ibu itu seraya membelaiku dengan kasih sayang.
“Tak perlu berkecil hati. Gunakan saja sertifikat tanah milik ibu. Ibu ikhlas demi kamu dan cucu-cucu. Toh, jika ibu meninggal nanti akan menjadi warisan kalian juga.”
โIbu enggak apa-apa, kan?โ tanyaku sambil memegang kedua tangannya. Kutatap kedua bola mata ibu yang teduh itu dalam-dalam. Di sana kutemukan gumpalan resah yang sulit untuk kuurai. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir, hanya kristal bening yang mengalir di kedua pipi keriputnya menjawab segala tanya.
Bandung, 15 April 2019
***