Joeragan artikel

Ada Maunya, Bukan Mau Seadanya

Ada Maunya, Bukan Mau Seadanya

Pagi ini di meja makan sudah tersaji nasi uduk dengan telur dadar iris di atasnya. Ada juga ikan tuna dan telur balado. Dini, istri Dono, menyambut sang suami dengan senyuman yang lebar. Dono membalas dengan senyum seadanya. Dia melihat istrinya sudah rapi dan wangi dari ujung kaki sampai rambut.

“Ayo makan, Pa. Dini ambilkan, ya,” tawar Dini sambil memegang piring sementara Dono hanya Dono hanya memgangguk

“Nasinya segini?” 

“Iya, Ma. Cukup. Kasihan Opal nanti,” kata Dono mengingatkan.

“Oh iya, Opal, ayo sarapan!” teriak Dini memanggil sang anak.

Dono mendelik melihat senyum istrinya yang ditegur karena berteriak memanggil Opal. Perasaannya mendadak kurang enak. Sikap istrinya sangat berbeda dari biasanya. Sudah beberapa hari ini, Dini membuatkan sarapan, membersihkan rumah, dan selalu berkata manis kepadanya. Padahal biasanya Dono yang membuat sarapan, mengerjakan pekerjaan rumah sebelum berangkat kerja, dan merapikan rumah sepulang kerja.

“Pa, Mama mau bicara,” kata Dini memulai percakapan.

Nasi sudah di piring, tetapi Dono belum menyantapnya.

“Apa, Ma?”

Dono sengaja tidak melihat wajah istrinya dan fokus memainkan ponselnya.

“Pa, Mama pengen kerja.”

“Maksudnya?” Dono kembali bertanya, jangan-jangan salah dengar.

“Kantor lama Mama menawarkan posisi bagus dan gaji lumayan, Pah,” jelas Dini dengan wajah berseri-seri.

Sebelum menikah dengan Dono, Dini dulunya adalah seorang karyawan di salah satu pabrik tekstil.

“Opal bagaimana, Ma?” tanya Dono sambil menggeser kursinya agar lebih dekat ke arah sang istri.

“Opal sama Papa saja. Kerjaan Papa kan, cuma kurir. Pasti bisa ngurir bawa Opal.”

Dono kaget bukan main.

“Ma, Papa itu memang cuma kurir. Masalahnya jam kerja Papa sama seperti karyawan kantoran, Ma. Bahkan bisa lembur sampai malam,” jelas Dono mencoba memberi pengertian.

“Ya sudah, Papa resign saja jadi kurir. Biar Mama saja yang kerja. Papa jaga Opal di rumah. Bagaimana?”

Entah di mana perasaan Dini yang dengan santainya menyuruh Dono untuk berhenti bekerja. Dono tidak habis pikir.

“Enggak bisa begitu dong, Ma. Bagaimanapun tanggung jawab mencari nafkah tugas suami. Lagipula kalau Mama kerja, kasihan Opal.”

“Tapi Mama sudah menyanggupi, Pa. Enggak enak kalau Mama batalkan!” 

Suara Dini mendadak tinggi. Ada rasa kecewa dari nada suaranya.

“Lho? Mama enggak bisa begitu dong. Seharusnya Mama jangan menyanggupi dulu,” kata Dono tidak mau kalah.

Baginya, cukup sudah semua pengertian yang ia berikan selama ini. Selalu mengalah kepada istrinya untuk menghindari konflik.

“Papa egois!” teriak Dini mulai berkaca-kaca.

“Ma, coba Mama mengerti posisi Papa. Kalau Mama kerja, sedangkan Papa di rumah, apa kata tetangga?”

Dono mulai gerah. Dia segera mengambil tisu untuk mengelap keringat di dahinya.

“Papa memang egois! Mama sudah beberapa hari ini masak, mencuci, dan membersihkan rumah. Harusnya Papa bisa ngasih izin Mama bekerja!”

Air mata Dini mulai berjatuhan.

“Maaf Ma, Papa enggak izinkan. Kalau Mama mau kerja, dari rumah aja. Jangan yang kantoran. Kasihan Opal.”

“Noval Perdana! Segera turun dan habiskan nasi uduk ini!”

Tiba-tiba Dini berteriak memanggil nama lengkap anaknya. Dini bahkan mengambil nasi uduk yang belum disentuh Dono dan memakannya dengan penuh kesal. Wajahnya memerah dan air matanya tumpah.

Sekali lagi, Dono hanya bisa diam. Perutnya yang keroncongan harus bersabar untuk ditahan lebih lama.

 

Editor: Rizky Amalia Eshi

#ajangfikminjoeraganartikel2021

#Day4

#penjilat

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

× Hubungi Kami